|
Belajar Mengolah Air Buangan dari Singapura08 November 2012 Kemana perginya air hujan setelah turun dari atap rumah? Atau kemana larinya air dari kloset, kamar mandi, mesin cuci atau dari rumah sakit dan pabrik? Tingginya angka kebutuhan air minum yang kian hari semakin meningkat seperti sekarang, membuat sejumlah negara dunia memperhatikan pengelolaan air buangan secara serius. Melihat pentingnya pengelolaan air buangan yang baik, Pemerintah Indonesia bersama Singapura dan ADB menyelenggarakan Pelatihan Used Water Management di Singapura. Pelatihan yang berlangsung selama tujuh hari ini (17-23/10), bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam pengembangan dan implementasi pengelolaan air reklamasi. “Singapura memiliki sistem pengelolaan air buangan yang sangat maju dan terintegrasi. Istilah yang digunakan adalah pengelolaan air buangan, used water management, bukan hanya waste water treatment,” kata Maraita Listyasari, Kepala Harian Pokja AMPL Nasional, yang mengikuti pelatihan ini. Dikatakan maju, karena Singapura memang telah memiliki system pengelolaan sanitasi yang terpusat. Di mana, hampir seluruh atau sebesar 99 persen wilayah di negeri singa putih itu telah dilayani oleh system perpipaan terpusat (sewerage system), baik yang berasal dari rumah tangga (domestik) maupun dari daerah komersial dan industri. Menurut Maraita, untuk menerapkan pengelolaan air buangan Singapura melakukan 3 tahap transformasi yaitu, penanganan kondisi dasar, pengembangan pengelolaan air, serta mengintegrasikan isu lingkungan dengan sektor lainnya. Dari ketiga transformasi tersebut, salah satu program yang tercipta ialah adanya berbagai kegiatan kampanye dan edukasi mengenai pencemaran air. Program ABC Water (Active, Beautiful, Clean) salah satunya. Program ini mencakup penyediaan lahan baru untuk masyarakat, mendekatkan masyarakat terhadap isu ketersediaan air, upaya penanganan banjir, hingga meningkatkan kualitas air. “Hal tersebut tidak lain, guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menghargai air, sehingga tidak akan menyia-nyiakan penggunaan air,” papar Maraita. Langkah jitu lain yang dapat ditiru ialah dengan cara komprehensif, maksudnya tidak hanya pengelolaan supplay tetapi juga demand. Salah satunya dengan membatasi penggunaan air kepada konsumen. Dengan langkah ini Singapura pun akhirnya berhasil meminimalisir angka kekurangan air yang kini hanya mencapai angka 5 persen saja. Lebih lanjut, Maraita memaparkan, adanya pembelajaran dari Singapura ini bukan hanya dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan pembangunan dan perbaikan sanitasi di Indonesia saja, melainkan juga dapat dijadikan satu masukan agar semua pihak terkait dapat meningkatkan semangat dan komitmen untuk perubahan. Wujud
peningkatan komitmen itu sendiri, bisa direalisasikan dengan penyusunan
program yang disertai dengan tahapan implementasi yang jelas dan
konsisten. “Singapura memberi contoh pelibatan masyarakat yang sangat baik. Di mana, mereka tidak memandang rakyat sebagai objek tetapi juga subjek dalam pengeloaan air,” pungkasnya. *Maraita Listyasari*
|