Hotel Ekonomi Masih Jadi Primadona
05 Juli 2013
JAKARTA, KOMPAS.com- Pertumbuhan bisnismeeting, incentives, convention dan exhibition(MICE) dan jumlah pelancong kelas menengah, diakui mendorong pergerakan sektor perhotelan lebih agresif. Seluruh pemain yang terlibat dalam sektor ini, mulai dari pengembang, hingga operator yang berjaringan luas baik lokal maupun internasional melakukan aksi ekspansi.
Pengembang sekaliber Ciputra Group sampai harus mengembangkan anak perusahaan yang khusus mengelola sektor perhotelan yakni PT Ciputra Hospitality. Mereka membangun brand "CitraDream". Menyusul Metland yang telah lebih dulu membentuk anak usaha dengan bendera Metropolitan Golden Management (MGM). MGM mengembangkan dan mengelola merek hotel berbagai kelas; bintang lima (Grand Horison), bintang 4 (Horison Ultima), bintang 3 (Horison) dan hotel ekonomi (@HOM) serta hotel syariah (Aziza).
Ciputra Hospitality berencana membuka 8 CitraDream hingga 2014. Sedangkan MGM menargetkan dapat mengelola sekitar 60 hotel.
Sementara jaringan operator lokal macam Tauzia yang saat ini telah membuka 13 Harris Hotel, akan menambah 27 properti baru dengan merek yang sama hingga akhir tahun 2015 mendatang. Untuk kelas lebih rendah, yakni POP! Hotels, menargetkan dapat mengelola 33 hotel baru di tahun yang sama.
Untuk jaringan internasional seperti Accor Group, hingga tahun 2015 ke depan, membidik 100 properti yang akan mereka operasikan. Limapuluh (50) persen di antaranya merupakan hotel ekonomi.
Menarik mencermati fenomena perubahan orientasi para pemain perhotelan ini. Mereka justru berlomba mengembangkan hotel murah dengan komposisi lebih banyak ketimbang hotel berbintang.
Head of Capital Market and Investment Knight Frank Fakky Ismail Hidayat berpendapat, investasi di bisnis hotel untuk segmen pasar ekonomi lebih menguntungkan daripada di hotel berbintang empat atau lima. Kendati pertumbuhan bisnis seluruh kelas hotel saat ini positif, namun hotel murah lebih cepat dalam pengembalian modal dan keuntungan.
"Tarif kamar (room rate) hotel bintang lima tidak mencukupi development cost yang dikeluarkan pengembang. Kalau bukan menggandeng brand yang betul-betul bonafid, jangan coba-coba bermain di kelas ini," ujar Fakky kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (4/7/2013).
Sementara ongkos pembangunan untuk hotel bujet sekitar Rp 200 juta hingga Rp 400 juta per kamar. Dengan rata-rata 100 kamar per hotel plus tarif per malam sekitar Rp 400.000-Rp 500.000, proyeksi balik modal paling cepat 5 sampai 7 tahun. Bandingkan dengan ongkos pembangunan hotel mewah yang butuh dana sebesar Rp 1,5 miliar per kamar. Dengan room rate rata-rata 200 dollar AS (Rp 1,9 juta) per malam, balik modal bisa di atas 10 tahun. Itu pun dengan catatan tingkat okupansi harus di atas 50 persen.
Dus, membangun hotel bujet tidak harus dilengkapi dengan fasilitas macam kolam renang, restoran,gym, ruang konvensi atau pun business center yang membutuhkan biaya tinggi. Cukup tempat tidur yang nyaman, akses internet yang murah, serta menu sarapan pagi memadai, para tamu akan betah bermalam di hotel seperti ini.
"Konsep bed and breakfast lebih cocok untuk hotel ekonomi. Hal ini sangat disukai oleh tamu atau pebisnis yang butuh kepraktisan, kecepatan dan murah serta mudah. Segmen pasar yang paling gemuk saat ini memang kelas ekonomi," imbuh Fakky.
Hal senada dikemukakan Regional Director of Sales, Marketing & Distribution Accor Malaysia-Indonesia-Singapura, Adi Satria. Menurutnya, potensi hotel kelas ekonomi dalam beberapa tahun ke depan sangat prospektif. Terutama di kota-kota besar dan kota kedua yang dekat dengan pusat bisnis atau tujuan wisata.
"Selain Jakarta dan Surabaya yang memiliki pasar besar, Bandung, Malang, Manado, Padang, Palembang, Pekanbaru, Solo, Banjarmasin, Samarinda, Makassar sangat potensial untuk dimasuki hotel kelas bintang 2 dan ekonomi. Kota-kota ini memiliki keunggulan komparatif terutama industri pariwisata," ujar Adi.
|
|