Rumah Rakyat Harus Disubsidi!
26 Juni 2013
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemotongan subsidi BBM, yang berdampak pada kenaikan harga BBM, pada dasarnya memiliki semangat berkeadilan bagi masyarakat. Agar subsidi tersebut tepat sasaran, maka pemerintah menilai sudah waktunya masyarakat pengguna BBM, yang umumnya memiliki kendaraan pribadi, lebih mandiri tanpa bantuan.
Sayangnya, kebijakan tersebut bak pisau bermata dua. Di satu sisi pemerintah ingin memberikan keadilan, di sisi lain kenaikan harga BBM mampu memicu kenaikan harga barang lainnya, termasuk properti. Daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pun semakin terpuruk.
Menanggapi kenaikan harga BBM tersebut, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz sempat mengutarakan rencananya menaikkan harga rumah sederhana sehat (RSH). RSH yang semula berada pada kisaran Rp 88 juta-Rp 145 juta akan ditingkatkan. Dengan catatan, jangka cicilan akan mengalami perpanjangan. Namun, besaran kenaikan harganya hingga saat ini belum dipastikan dan masih menunggu hasil kajian.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo berharap, rencana kenaikan harga RSH tidak menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Bahkan bila memungkinkan, subsidi BBM dialihkan untuk subsidi RSH ataupun untuk pengembang RSH agar harga tidak berubah.
"APERSI berharap harga rumah subsidi jangan naik dulu karena tanpa peningkatan harga pun keterjangkauan konsumen makin jauh, Biaya hidupnya semakin tinggi akibat kenaikan BBM. Namun jika biaya produksi tetap naik, kami berharap pemerintah dapat menambah subsidi kepada MBR ataupun pengembang sehingga harga bisa dipertahankan," ujarnya Eddy kepada Kompas.com, di Jakarta, Selasa (25/6/2013).
Meski berharap tidak akan ada kenaikan harga, Eddy mengaku sudah menyiapkan strategi menghadapi kenaikan harga yang tidak terbendung akibat naiknya biaya produksi. Antara lain menekan biaya-biaya seperti perijinan, pertanahan, dan listrik.
|
|